Memetik bukan hanya
berarti mengambil, seperti memetik jeruk berarti mengambil jeruk dari
tangkainya. Memetik, menurut masyarakat Desa Sumberasri, dapat berarti memberi.
Tulisan ini akan mengulas bagaimana kita--yang terbiasa merusak alam--toh tidak
hanya dapat mengambil, tetapi juga dapat memberi. Lewat Petik Laut.
Petik Laut
Petik Laut, sama
seperti yang diperingati di Muncar, juga diperingati di Desa Sumberasri. Hal
ini disebabkan Desa Sumberasri juga berbatasan dengan laut. Meskipun demikian,
berbeda dengan yang berada di Muncar, perayaan Petik Laut di Desa Sumberasri
lebih sederhana tanpa menghilangkan makna yang terkandung di dalamnya.
Jika kita berjalan ke
selatan desa, kita akan menemui Blok Bedul, sebuah wisata Mangrove kebanggaan
desa. Di Blok Bedul tersebut, terdapat Segara Anakan, disebut demikian disebabkan
Segara Anakan tersebut serupa sungai yang berasal dari laut. Bak Sungai Amazon,
menurut orang asing yang berkunjung ke sana. Untuk mencapai laut—Pantai
Marengan, kita harus menyeberang melalui perahu bernama Gondang-Gandung. Perahu
tersebut, bersama perahu-perahu nelayan, setiap sore berjejer di dermaga Blok
Bedul bersama pantulan senja. Menyenangkan menghabisi waktu di sana. Mendengarkan
decitan perahu-perahu, membuat saya terbayang peluh-peluh perahu itu saat di
laut lepas. Bukan mengambil, tetapi menerima rezeki dengan jaring dan kail.
Berkah itulah yang patut disyukuri
masyarakat, yang oleh karena itu terwujud dalam Petik Laut. Melalui
perahu-perahu kecil, nelayan bertaruh nyawa di laut yang tidak sebanding
luasnya dengan perahu mereka, mengambil apa yang ada di dalamnya. Untuk itu,
nelayan merasa perlu di suatu waktu yang khusus, memetik kembali hasil dari
laut. Kali ini, memetik yang berarti memberi. Memberi pada laut.
Prosesi
Petik Laut dilakukan
setiap pertengahan Bulan Syuro, biasanya setiap tanggal 15. Nelayan pada hari-hari itu
membuat replika
perahu yang berasal dari kayu dan plastik, berisi makanan-makanan yang
dipersembahkan pada laut. Selain itu, dibuat pula bersama-sama makanan yang
dinikmati bersama-sama pula.
Prosesi
pertama adalah berkumpul secara melingkar, mengitari makanan yang dibuat
bersama-sama, untuk berdoa. Doa dipimpin oleh satu orang yang dianggap ahli,
sementara nelayan-nelayan yang hadir mengamini doa tersebut. Setelah berdoa,
makanan yang sedari awal berada di depan mereka, dimakan bersama-sama.
Sumber gambar: discoverybanyuwangi.blogspot.com
Berlanjut
ke prosesi kedua, yaitu pelarungan. Replika perahu yang dibuat, dengan ayam
hidup dan ayam yang telah matang, serta makanan lain, dilarung di Segara Anakan
setelah sebelumnya nelayan mengitari Segara Anakan. Pelarungan begitu
sederhana, hanya diikuti oleh beberapa perahu nelayan yang dapat dihitung
dengan jari. Satu tangan. Mungkin dua perahu. Terkadang, pelarungan tidak
dilakukan di Segara Anakan, tetapi di laut selatan, tempat nelayan mencari
ikan.
Terkadang,
dapat dihitung dengan jari pula, mungkin tiga kali, penyelenggara menggelar
kesenian Jaranan yang dipentaskan di tempat datar di Blok Bedul. Kesenian
Jaranan tersebut ditanggap dari luar desa untuk lebih menarik perhatian
masyarakat agar ikut serta memeriahkan prosesi acara. Meskipun demikian,
barangkali karena tidak tercatat dalam agenda desa, penanggapan Jaranan
tersebut merupakan hasil swadaya masyarakat, iuran per KK, dan bukannya
anggaran dari suatu yang memerlukan pelaporan. Akan lebih baik jika kesenian ini
selalu ditampilkan setiap Petik Laut berlangsung.
Terlepas
dari ingar-bingar dan segala syahdu yang mengalir bersama ketenangan Segara
Anakan, saya merasa bahwa rupa-rupanya dalam diri manusia terdapat hati yang
bersih, hati yang mengalun dan berpendar menjauh bersama replika perahu yang
terlarung. Kita bukan apa tanpa alam, dan tidak ada hubungan yang lebih hebat
dari hubungan yang saling mencintai. Terima kasih, laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar